Normal 0 false false false EN-US X-NONE AR-SA
BAB II
Bukti pengakuan
A. Pengertian Pengakuan
Pengakuan ialah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri, bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain. Dasar hukum, pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam pasal 174 HIR dan Pasal 311 R.Bg serta pasal 1923-1928 KUH perdata,[1] menurut Prof.Mr.A.Pitlo sebagaimana yang dikutip oleh Teguh Samudera,SH., mengemukakan bahwa pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, di mana ia mengakui apa-apa yang dikemukakan oleh pihak lawan. Menurut Prof. Schoeten dan Load Enggens berpendapat bahwa pengakuan sebagai alat bukti merupakan hal yang tepat , karena suatu pengakuan dimuka hakim merupakan suatu perbuatan hukum dan setiap perlawanan hukum itu merupakan suatu hal yang bersifat menentukkan secara mutlak. Demikian juga dengan pengakuan yang diucapkan oleh salah satu pihak dalam persidangan, misalnya terhadap hal-hal kebendaan yang dimiliki sendiri perbuatan yang dilakukan sendiri olehnya.
Dalam praktik, suatu pengakuan yang diberikan secara sukarela, bukan dengan paksaan, baik secara fisik maupun psikis, harus dianggap selamanya benar. Biasanya, pengakuan itu berkenaan dengan hak dan berisi tentang fakta, pengakuan dilakukan didepan pesidangan dan mempunyai nilai pembuktian yang mengikat dan memberatkan bagi pihak yang melakukan pengakuan.[2]
Oleh karena dalam pasal 174-176 HIR, pasal 311-373 R.Bg dan Pasal 1923-1928 KUH Perdata telah ditetapkan bahwa pengakuan merupakan alat bukti, maka demi kepastian hukum harus dinyatakan bahwa pengakuan itu merupakan alat bukti yang sah menurut hukum, setiap pengakuan yang telah diucapkan di depan sidang oleh salah satu pihak yang berperkara sendiri atau kuasa hukumnya, maka pengakuan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi orang yang memberikan pengakuan. Hal ini berarti apabila Tergugat telah mengakui segala dalil gugat maka pengakuan itu membebaskan Penggugat untuk membuktikan lebih lanjut. Konsekuensi dari hal ini, hakim harus mengabulkan tuntutan Penggugat dan perkara dianggap selesai.
Dalam pasal 1926 KUH Perdata disebutkan bahwa apabila suatu pengakuan telah diberikan dimuka hakim, maka pengakuan tersebut tidak dapat ditarik kembali, kecuali apabila dibuktikan bahwa pengakuan itu adalah akibat dari suatu kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi. Dalam praktik peradilan dapat tidaknya pengakuan itu ditarik kembali terserah kepada penilaian hakim yang menyidangkan perkara tersebut. Pengakuan dalam persidangan dapat dilaksanakan secara lisan dan dapat pula secara tertulis.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 175 HIR dan Pasal 312 R.Bg hanya menyangkut pengakuan lisan saja. Tentang kekuatan pembuktian diserahkan kepada kebijaksanaan hakim untuk menilainya. Oleh karena hakim tidak mendengar sendiri pengakuan tersebut, maka diperlukan alat bukti lain yaitu alat bukti saksi.[3] Dari keterangan saksi itu hakim dapat menilai pengakuan lisan diluar sidang itu, apakah mempunyai kekuatan pembuktian atau tidak. Dalam pasal ini tidak disebutkan tentang pengakuan tertulis diluar sidang, hal ini mungkin pengakuan yang berbentuk tulisan ini dikategorikan dalam alat bukti tertulis. Dengan demikian, nilai dari suatu pengakuan tertulis diluar sidang tidak berbeda dengan suatu dugaan. Sedangkan suatu dugaan saja tidak cukup dianggap sebagai suatu bukti yang cukup. Akan tetapi apabila dugaan itu ada persesuaian dengan dugaan dugaan lainnya, maka ia mempunyai kekuatan pembuktian, meskipun mungkin sebagai bukti permulaan. Pengakuan yang dilakukan di depan sidang pengadilan mempunyai kekuatan bukti yang sempurna, sedangkan yang dilakukan di luar sidang, kekuatan pembuktikannya diserahkan pada kebijaksanaan hakim, atau merupakan suatu bukti bebas berarti hakim leluasa untuk memberi kekuatan pembuktian.
Permulaan pengakuan salah satu pihak yang berperkara dapat dijadikan bukti, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Syarat formil alat bukti pengakuan
1). Disampaikan dalam proses pemeriksaan perkara dalam persidangan Majelis Hakim Pengadilan Agama
2). Pengakuan disampaikan oleh pihak yang berperkara (pihak materiil) atau kuasanya dalam bentuk lisan atau tertulis.
b. syarat materiil alat bukti pengakuan:
1). Pengakuan yang diberikan tersebut langsung berhubungan dengan pokok perkara.
2). Tidak merupakan kebohongan atau kepalsuan yang nyata dan terang.
3). Tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, moral dan ketertiban umum.
B. Macam-macam Bukti Pengakuan
Menurut Prof.DR.Sudikno Mertokusumo, SH.,dalam ilmu pengetahuan hukum, pengakuan sebagai alat bukti dibagi dalam tujuh bentuk yaitu:
a. Pengakuan murni dan bulat dimuka sidang
- Yang dimaksud dengan pengakuan murni dan bulat yaitu pengakuan yang sesungguhnya terhadap semua dalil gugatan yang diajukan oleh penggugat. Murni artinya sungguh-sungguh sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, sedangkan bulat artinya pengakuan yang tidak disertai dengan keterangan tambahan yang membebaskan. Dengan kata lain pengakuan murni adalah pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan.
- Misalnya, penggugat mengatakan bahwa tergugat telah 2 (dua) tahun tidak memberikan nafkah wajib kepada penggugat, dan tergugat pun mengakui telah 2 (dua) tahun tidak memberi nafkah wajib kepada penggugat.
- Dalam hal ini, hakim terikat dengan pengakuan tersebut, kecuali dalam perkara perceraian yang perlu didukung dengan alat bukti lain.
- Pengakuan di muka Hakim di persidangan merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang membenarkan suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya.
- Pengakuan merupakan pernyataan yang tegas.
- Pengakuan secara diam-diam tidak memberikan kepastian kepada Hakim tentang kebenaran suatu peristiwa.
- Pengakuan murni dimuka sidang merupakan bukti yang sempurna terhadap yang melakukannya, dan bersifat menentukan karena tidak memungkinkan pembuktian lawan ( pasal 174 HIR, pasal 311 R.Bg, pasal 1925 BW dan pasal 1916 ayat (2) No. 4 BW).
- Kalau tergugat mengakui tuntutan penggugat maka hakim harus mengabulkan gugatan penggugat.
- Dengan adanya pengakuan maka sengketa dianggap telah selesai.
- Pengakuan dimuka hakim dipersidangan tersebut tidak dapat ditarik kembali, kecuali kalau terbukti bahwa pengakuan itu adalah akibat dari suatu kesalahan atau kekeliruan mengenai hal-hal yang terjadi (pasal 1926 BW)
- Demikian pula menarik pengakuan dengan alasan seolah-olah orang yang melakukannya khilaf tentang hal hukum (pasal 1926 BW), tidak dibolehkan.
b. Pengakuan berkualifikasi
- Yang dimaksud dengan pengakuan berkulifikasi adalah pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebahagian dari tuntutan penggugat. Pada hahikatnya, pengakuan dengan berkualifikasi ini tidak lain adalah jawaban tergugat yang sebahagiannya terdiri dari sanggahan dan bantahan. Misalnya penggugat menyatakan bahwa tergugat telah memberi rumah dari penggugat sebanyak Rp.5000.000.- dalam hal ini tergugat mengaku telah membeli rumah dari penggugat, tetapi bukan seharga Rp.5000.000.- melainkan Rp.3000.000.-
- Hakim tidak boleh memisah-misah atau memecah-mecah pengakuan itu dengan menerima sebagian dari pengakuan sehingga tidak perlu dibuktikan lagi dan menolak sebagian lainnya yang masih perlu dibuktikan lebih lanjut, sehingga merugikan pihak yang memberi pengakuan.
- Contoh lain misalnya: penggugat menuntut agar tergugat menyerahkan uang kepada penggugat sebesar Rp. 5.000.000,- bedasarkan perjanjian perkawinan, sedang tergugat dalam jawabannya mengatakan bahwa “benar, saya belum membeyar uang kepada penggugat berdasarkan perjanjian perkawinan, tetapi besarnya bukan Rp.5000.000,- melainkan hanya Rp.3000.000,-“.
- Pengakuan tergugat tersebut tidak boleh dipisah-pisahkan dengan menerima pengakuan adanya perjanjian perkawinan sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dan menolak kualifikasi yang berupa sangkalan mengenai besarnya uang sehingga tergugat dibebani bukti sangkalannya tersebut.
- Pemisahan pengakuan tersebut akan berarti bahwa hakim menganggap perjanjian perkawinan telah terbukti dan tergugat dibebani pembuktian tentang sangkalannya tersebut sehingga hal ini merugikan tergugat.
- Pengakuan seperti tersebut dianggap sebagai sangkalan keseluruhan
- Dalam hal ini hakim akan :
a. Memerintahkan kepada penggugat untuk membuktikan
1. Adanya perjanjian perkawinan yang dilakukan, dan
2. Besarnya angka pembayaran yang Rp. 5.000.000,- itu
b. Apabila penggugat tidak berhasil maka tergugat dibebani untuk membuktikan bahwa besarnya uang hanya Rp. 3.000.000,-
Apabila tergugat tidak berhasil membktikan sangkkalannya itu maka pengakuan tersebut dipisahkan, sehingga :
a. Adanya perjanjian tidak perlu dibuktikan lagi, dan
b. Besarnya uang dalam perjanjian yang harus dibuktikan lebih lanjut.
c. Pengakuan berklausula
- Yang dimaksud dengan pengakuan berklausula adalah suatu pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Pada hakikatnya pengakuan yang berklausula ini adalah jawaban tergugat yang merupakan pengakuan tentang hal pokok yang diajukan penggugat, tetapi disertai dengan tambahan yang menjadi dasar penolakan gugat yang diajukan oleh penggugat.
- Misalnya : istri menggugat suami karena suami tidak memberi nafkah dan sebagainya kepada istri selama 3 tahun kemudian suami menjawab : “ benar saya tidak memberi nafkah selama tiga ahun karena istri saya nusyuz”.
- Pada hakekatnya, dalam kasus tersebut diatas jawaban tergugat merupakan pengakuan tentang hal pokok yang diajukan penggugat, yaitu tidak memberi nafkah selama 3 tahun tetapi disertai dengan tambahan penjelasan, bahwa istri telah nusyuz, dan hal ini yang menjadi dasar penolakan gugatan.
- Pengakuan yang semacam ini juga tidak boleh dipisah-pisahkan, yaitu dengan menerima sebagian dari pengakuan (yakni tidak memberi nafkah) sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dan menolak sebagian yang lainnya (yaitu bahwa istri nusyuz) yang masih perlu dibuktikan lebih lanjut, sehingga hal ini merugikan tergugat.
- Pengakuan ini harus diterima seutuhnya.
- Hal ini pada hakekatnya akan menyangkut tentang pembagian beban pembuktian.
- Dalam hal ini maka hakim harus membagi beban pembuktian yaitu:
a. Kepda penggugat diwajibkan membuktikan adanya perkawinan yang sah dan terpenuhinya syrat-syarat wajib nafkah atas suami yang menjadi hak bagi istri, dan
b. Kepada tergugat diwajibkan membuktikan nusyuznya istri.
- Dalam menghadapi pengakuan dengan syarat (kualifikasi atau clausula) ini, hakim harus bijaksana dan arif serta adil dalam membagi beban pembuktian kepada para pihak.[4]
d. Pengakuan Tertulis
- Ada dua kemungkinan dalam pengakuan yang diberikan secara tertulis oleh tergugat :
a. Tergugat hadir didepan sidang, dan
b. Tergugat tidak hadir didepan sidang.
- Apabila tergugat hadir didepan sidang dan memberikan pengakuan secara tertulis maka dapat dikategorikan kepada 3 (tiga) macam pengakuan tersebut, yaitu:[5]
· Pengakuan murni
· Pengakuan dengan kualifikasi, atau
· Pengakuan dengan clausula
Dan oleh sebab itu, berlaku ketentuan tersebut diatas tadi.
- Apabila tergugat tidak hadir didepan sidang dan tidak pula mewakilkan kepada orang lain untuk hadir, tetapi ia memberikan jawaban/ pengakuan secara tertulis, maka :
a. Tergugat tetap dinilai sebagai pihak yang tidak hadir dalam sidang, dan oleh karena itu berlaku ketentuan tentang pihak yang tidak hadir dalam sidang (yakni verstek)
b. Dan pengakuan tersebut merupakan pengakuan diluar sidang dan karenanya diserahkan kepada pertimbangan hakim, yang kiranya dapat dipergunakan dalam menyusun persangkaan hakim.
- Pengakuan tertulis diluar sidang merupakan alat bukti disamping alat bukti tertulis.
e. Pengakuan lewat kuasa hukum/wakil
- Pengakuan yang diberikan lewat kuasa hukum/wakil yang memang dikuasakan untuk itu, nilainya sama dengan pengakuan yang diberikan oleh tergugat pribadi. Demikian pula pengakuan pihak penggugat.
- Kuasa hukum/wakil, dalam hal ini harus ada kuasa istimewa yaitu diberikan kuasa untuk memberikan pengakuan atas nama pemberi kuasa.
f. Pengakuan lisan diluar sidang
- Yaitu suatu pengakuan yang diucapkan oleh salah satu pihak dalam perkara perdata untuk membenarkan pernyatan yang diberikan oleh pihak lawannya.
- Pengakuan mana yang dapat disampaikan kepada hakim oleh pihak lawan atau saksi-saksi, bahwa ia telah memberikan pengakuan itu secara pasti.
- Dalam hal ini, diserahkan kepada pertimbangan dan hati-hatinya hakim untuk menentukan harga suatu pengakuan dengan lisan, yang diperbuat diluar hukum (pasal 175 HIR, pasal 312 R.Bg, pasal 1925 BW)
- Menurut pasal 1927 BW, maka suatu pengakuan lisan diluar persidangan tidak dapat digunakan selain dalam hal-hal dimana diijinkan pembuktian dengan saksi.
- Pengakuan diluar sidang ini masih harus dibuktikan dipersidangan, karena ia tidak merupakan alat bukti.
- Pengakuan diluar persidangan ini dapat ditarik kembali oleh pihak yang memberikan pengakuan itu.
g. Pengakuan dalam sengketa perkawinan
- Dalam sengketa perkawinan, pengakuan pihak mempunyai spesifikasi tersendiri dalam hukum pembuktian, lebih-lebih lagi dalam perkara perceraian.
- Dalam perkara perceraian, kita dapatkan beberapa prinsip yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Perceraian adalah suatu tindakan yang tidak diridhoi Allah, meskipun mempunyai alasan yang cukup. Dan jika tidak ada cukup alasan maka dihukumi haram.
b. Undang-undang perkawinan menganut prinsip mempersukar perceraian, mengingat begitu berat akibat dari perceraian itu baik terhadap suami istri maupun terhadap anak-anak mereka.
c. Untuk menghindari adanya kebohongan-kebohongan besar dalam perceraian.
- Mengingat hal-hal tersebut diatas, maka hakim harus mencari kebenaran-kebenaran materiil alasan-alasan cerai yang dikemukakan dengan alat-alat bukti yang cukup.
- Namun demikian, jika suatu pengakuan telah diberikan secara tegas, kronologis dan rasional serta tidak memungkinkan lagi diajukan alat-alat bukti lain, maka hal ini dapat diterima oleh hakim.
- Demikian pula dalam perkara ijin poligami.
- Pengakuan tidak dapat diterima sebagai bukti kebenaran alasan cerai, jika untuk itu undang-undang telah menetapkan alat bukti lain.
Menurut Abdul Kadir Muhammad, SH., ada dua cara menyelesaikan pengakuan dengan keterangan tambahan yaitu:
1). Penggugat menolak sama sekali pengakuan tergugat dengan keterangan tambahannya itu, dan memberikan pembuktian sendiri. Disini pengakuan tergugat dipandang sebagai penyangkalan. Dengan demikian pembuktian dibebankan kepada tergugat sesuai dengan pasal 163 HIR dan pasal 283 R.Bg
2). Penggugat dapat meneima pengakuan tambahan itu, dan memberikan pembuktian bahwa keterangan tambahan itu tidak benar. Jika penggugat berhasil membuktikannya, ia dapat minta kepada hakim supaya memisahkan pengakauan tergugat dari keterangan tambahannya yang terbukti tidak benar itu. dengan pemisahan itu pengakuan tergugat menjadi pengakuan murni dan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Sedangkan keterangan tambahan yang telah dibuktikan oleh penggugat sebagai tidak benar itu, ia harus membuktikannya. Jika tergugat berhasil pula membuktikannya, gugatan penggugat dikabulkan sesuai dengan pengakuan tergugat. Tetapi jika tergugat tidak berhasil membuktikan keterangan tambahan itu, seluruh gugatan penggugat dikabulkan. Dari dua kemungkinan ini, kemungkinan yang kedua lebih banyak dipraktekan dalam penyelesaian suatu perkara. Namun demikian terserah pada hakim untuk menilai dan mempertimbangkan pihak mana yang lebih patut dibebani pembuktian menurut senyatanya.[6]
Normal 0 false false false EN-US X-NONE AR-SA
BAB III
Kesimpulan
Pengakuan ialah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri, bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain. Dasar hukum, pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam pasal 174 HIR dan Pasal 311 R.Bg serta pasal 1923-1928 KUH perdata.
Macam-macam Bukti Pengakuan:
a. Pengakuan murni dimuka sidang
b. Pengakuan dengan kualifikasi
c. Pengakuan dengan clausula
d. Pengakuan tertulis
e. Pengakuan lewat kuasa hakim/wakil
f. Pengakuan lisan diluar sidang
g. Pengakuan
[1]Mukti Arto. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005. Hal.177
[2]Syaiful, bakhri. Beban Pembuktian, Jakarta: Gramata Publishing, 2012. Hal 131
[3] Prof. R. Soebekti.S.H. Hukum Pembuktian. Jakarta: PT Pradnya Paramita. 2010. Hal. 51
[4] Mukti Arto. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005. Hal.181
[5] Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. 2005. Hal.551
[6] Abdul, manan. Penerapan hukum Acara Perdata dilingkungan Peradilan Agama. Jakarta. 2005. Prenad media group, Hal 257-262
HUKUM ACARA PIDANA by Ekiosku
Normal 0 false false false EN-US X-NONE AR-SA